Wednesday, May 5, 2010

Tewasnya Thyes, Konflik Antara Freeport dengan Warga Pendulang Masuk Pelangaran HAM Berat

Dalam rangka ulang tahun Elsham ke-12 (5/5) kemarin, Elsham Papua melakukan peringatan dalam bentuk ibadah syukur di kantornya, yang beralamat di Padang Bulan. Dalam acara yang diikuti para aktifis HAM serta sejumlah tokoh LSM Papua tersebut, Direktur Elsham Papua Ferry Marisan mengemukanan sejumlah kasus yang masuk kategori pelanggaran HAM.

Berikut Laporan Ahmad Jainuri

Ferry Marisan mengemukakan bahwa penegakan HAM di Tanah Papua tidak terlepas dari rentetan konflik dan kekerasan yang terjadi sejak Tahun 1963 hingga sekarang. ‘’Konflik dan kekerasan di tanah Papua tersebut telah mendorong terjadinya rangkaian pelanggaran HAM secara sistematik dan meluas di Papua,’’ ungkapnya.

Menurut Ferry Marisan bahwa sebagai hasil refleksi terhadap situasi yang dihadapi oleh orang Papua pada saat itu, maka diperlukan upaya penanganan secara sistematis dan terstruktur untuk mengurangi terjadinya kekerasan yang berimplikasi terhadap pelanggaran HAM.

Lembaga studi dan advokasi Hak Asasi Manusia(Elsham), menurut Ferry Marisan didirikan dengan alasan pentingnya pemantauan, penyelidikan dan publikasi secara lebih efektif dan kontinyu. Maka pada Akhir Tahun 1997 IWGJP memprakarsai pertemuan 16 tokoh Papua termasuk Ferry Marisan yang kemudian melahirkan Elsham yang secara resmi berbadan hokum pada 5 Mei 1998.

Dan dalam kiprahnya selama 12 Tahun, menurut Ferry Marisan Elsham Papua telah melakukan monitoring melalui berbagai media massa, melalui laporan dari jaringan Elshaam Papua serta dari laporan langsung masyarakat. ‘’Sedangkan investigasi dilakukan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat, sebagaimana yang dimaksud dalam Statuta Roma,’’ ungkapnya.

Menurut Ferry Marisan bahwa tidak kurang dari 25 peristiwa pelanggaran HAM yang dinilai sebagai pelanggaran HAM berat, termasuk peristiwa tewasnya Theys H Eluay dan terakhir adalah Konflik antara PT Freeport dengan warga pendulang emas di areal konsesi PTFI Tahun 2006. Dikatakan juga bahwa dalam penanganan kasus-kasus di pengadilan, Elsham Papua berafiliasi dengan lembaga-lembaga pendampingan hokum seperti LBH, Kontras dan lembga-lembaga lainnya.

Selain megungkapkan prestasiny, Ferry Marisan juga mengungkapkan berbagai kegagalannya serta tiga harapan ke depan kepada pemerintah guna menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua secara menyeluruh dan komprehensif.

Seperti advokasinya terhadap kasus penembakan di mile 62-63 Mimika, menurut Ferry Marisan empat orang aktifis Elsham, yakni John Rumbiak, Paula Makabori, Demmy Bebari dan Andy Tagihuma dikategorikan oleh Kejaksaan Agung Amerika Serikat, sebagai pendukung teroris melabelkan TPN/OPM sebagai salah satu kelompok teroris di dunia.

‘’Elsham Papua juga dianggap sebagai agen-agen separatis politik di Indonesia. Elsham Papua digugat oleh Kodam XII/Trikora dalam kasus pencemaran nama baik,’’ ungkapnya dalam pres releasenya.

Sedangkan kegagalannya, menurut Ferry Marisan diantaranya adalah pada kasus pembunuhan atas Theys H Eluay, dimana keluarga Theys mengalihkan kuasa kepada lembaga lain serta sejumlah kasus yang mengarah pada pelanggaran HAM lainnya.

‘’Elsham Papua gagal mendorong penyelidikan lebih lanjut terhadap kasus pelanggaran HAM di Mapenduma, Bella, Alama, Nggeleslama dan Mbua,’’ ungkap Ferry Marisan.

Dan untuk penyelesaian secara komprehensif atas permasalahan di Papua dan Papua Barat, Elsham mengeluarkan tiga harapan kepada pemerintah Indonesia. Ketiga harapan tersebut antara lain pertama, Pemerintah Indonesia bertangungjawab menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua secara menyeluruh dan komprehensif, kedua Pemerintah Indinesia harus mengurangi jumlah pasukan ke Papua, dank e tiga, Pemerintah Indonesia secara arif dan bijaksana member ruang yang terbuka dan demokratis dalam rangka dialog penyelesaian konflik di Papua.

Saat ditanya tentang harapan untuk melakukan pengurangan jumlah pasukan TNI/Polri yang bertentangan dengan komentar Kepala Kampung Purleme Sem Telenggen yang mengungkapkan bahwa situasi di kampungnya selalu diresahkan oleh ulah kelompok bersenjata yang semakin liar mengganggu masyarakat setelah sejumlah pos TNI-Polri kosong hingga terakhir mengakibatkan dua karyawan PT Modern di Puncak Jaya tewas ditembak kelompok tersebut pada 13 April 2010, Ferry Marisan meragukan kemurnian keterangan kepala kampong tersebut.

‘’Terkait dengan pernyataan kepala kampung itu bahwasannya kita harus melihat secara rasional. Apakah di lapangan itu keberadaan TNI itu membuat situasi akan aman atau justru memicu konflik di masyarakat. Karena banyak rakyat sipil yang merasa tidak aman karena kalau ke kebun harus minta ijin dari TNI, harus lapor. Pulang juga harus lapor itu yang membuat orang jadi tidak bebas untuk berbuat. Jadi itu sudh melangar hak-hak orang untuk kebebasan itu. Jadi bagi saya pernyataan kepala kampung itu harus dilihat bahwa apakah memang itu dia yang buat atau orang lain yang buat lalu dia baca. Itu yang harus kita lihat baik-baik,’’ terangnya.

Ketika ditanya hal kongkrit dalam upaya penyelesaian masalah papua secara komprehensif, Ferry marisan mengatakan bahwa kasus-kasus yang didalamnya terdapat pelanggaran ham harus didorong agar sampai pada vonis hakim pengadilan HAM. ‘’Misalnya kasus wamena dan wasior itu mesti didorong sampai tingkat pengadilan HAM,’’ ungkapnya.

Dikatakan juga bahwa yang sangat penting adalah bagaimana penanganan para korban perlanggaran HAM di Papua. ‘’Tapi yang juga tidak kalah penting bahwa para korban pelanggaran ham itu mesti mendapat perhatian dari pemerintah. Ganti rugi mungkin. Mereka mendapat perlakuan yang layak seperti orang-orang lain. Selama ini para korban pelanggaran HAM itu kan tidak mendapat tempat yang layak di mata pemerintah,’’ lanjutnya.

Sedangkan tentang dialog yang diinginkan Elsham, Ferry Marisan mengatakan bahwa pihaknya hanya menginginkan ada ruang bagi masyarakat Papua untuk bicara secara terbuka kepada pemerintah. ‘’Disini tidak bicara dialog Papua-Jakarta, tetapi musti ada ruang yang terbuka oleh pemerintah Jakarta untuk orang Papua dulu yang bicara. Jadi bukan berarti dialog yang sekarang dibicarakan antara Papua dengan Jakarta. Akan tetapi ada ruang yang terbuka oleh pemerintah Jakarta yang terbuka secara menyeluruh sesuai dengan yang terjadi di Papua, entah itu politik, sosial, ekonomi dan lain-lain.(habis)

Sumber: BintangPapua